Buku Milik Sasha
Aroma lemon langsung menyergap ketika kulangkahkan kaki ke dalam kamar
bercat hijau toska ini. Aroma kesukaannya. Isinya masih seperti dalam
ingatanku, sebuah ranjang yang hanya cukup untuk satu orang, meja rias, lemari
pakaian dan sebuah rak buku besar yang menempel di dinding sebelah timur yang
berisi buku-buku koleksinya.
Entah apa yang membuatku melangkahkan kaki menuju rak buku itu, aku tak
tahu. Yang kutahu kemudian aku mengambil sebuah buku bersampul
warna cerah dan
membuka halaman pertama. Tak ada apa-apa. Hanya ada sebaris ucapan terima kasih
beserta tanda tangan yang ditujukan untuknya.
Kuletakkan buku itu, kuambil buku yang lain. Kuletakkan lagi lalu kuambil
lagi yang lain. Begitu terus hingga beberapa buku selanjutnya. Yang kulakukan
hanya membuka halaman pertama, berharap ada sesuatu yang istimewa di balik
sampul-sampul buku itu.
Tapi, Hei! Sejak kapan aku berharap menemukan sesuatu yang istimewa di
antara tumpukan buku ini? Toh, peristiwa bertahun-tahun yang lalu sudah
menghapus semua kenangan indah yang pernah kami lalui bersama. Jadi untuk apa
sebenarnya aku di sini?
“Ah, kau sudah melihat-lihat rupanya,”
Sontak aku menoleh, seorang perempuan hampir baya berdiri di depan pintu
kamar sembari membawa sebuah baki berisi gelas dan teko. Ia tersenyum, kemudian
melangkahkan kaki menuju meja rias dan meletakkan bawaannya di sana, lalu
menghampiriku.
“Aku cuma melihat koleksi bukunya saja, Bi,” jawabku seraya mengembalikan
buku yang kupegang kembali ke tempatnya.
Aku menatap perempuan yang kini hampir seluruh rambutnya berubah menjadi
putih itu dengan tatapan sendu, yang karena permintaannyalah aku mau datang
lagi ke tempat ini.
“Dia masih suka mengoleksi buku ternyata, bahkan setelah hubungan kami
putus,”
Sial! Kenapa harus kata-kata itu yang keluar dari mulutku! Ugh…
memalukan! Itu sama saja mengatakan kalau aku tak pernah melupakan dia!
“Maksudku…”
“Tak apa, Fahri… Bibi tahu,” Ia mengulas senyum setelah memotong upaya
pembelaanku. “Terima kasih sudah memenuhi permintaanku untuk datang. Maaf kalau
ternyata sangat merepotkan,” tambahnya.
“Tak apa Bi, kebetulan aku juga sedang ada di Jakarta,” aku menjawab
sembari memperhatikan gerak tangannya yang kini mengambil sebuah buku dalam
deretan di rak. Ia mengangguk padaku,
kemudian menyerahkan buku itu.
“Apa ini?” tanyaku bingung sementara ia telah kembali ke depan meja rias.
“Bukalah,” pintanya.
Aku menatapnya bingung, ia kembali mengangguk. Sejurus kemudian kubuka
halaman pertama buku itu sembari melangkah mendekatinya.
Untuk sahabatku tersayang, Fahri.
Maaf aku mengecewakanmu,
Sebaris kalimat itu tertulis rapi di sana, membuatku serta merta menatap
perempuan 60 tahunan yang masih bergeming di tempatnya berdiri dengan tatapan
ingin tahu.
“Buku itu Sasha yang menulisnya, terbit seminggu sebelum kecelakaan itu
terjadi. Sasha menulisnya untukmu, katanya sebagai permintaan maaf, sekaligus
ucapan terima kasih.”
“Terima kasih? Untuk apa?” tanyaku cepat dengan tangan yang agak gemetar.
Aku tak menyangka kalau dia benar-benar memenuhi janjinya untuk menulis sebuah
buku untukku. Tapi janji itu sudah sangat lama, kukira sudah tak berarti
semenjak ia memilih orang itu untuk jadi pendamping hidupnya. Orang yang sangat
kubenci!
“Untuk perbuatanmu yang menyadarkannya kalau laki-laki yang ia pilih
adalah laki-laki yang salah. Dia selingkuh dengan perempuan lain, bahkan saat
detik-detik terakhir pernikahan mereka akan berlangsung,” Ia berucap dengan
pilu sebelum akhirnya meneguk teh dari gelasnya.
“Sudah lama ia ingin memberikannya padamu, tapi ia tak tahu alamatmu setelah
kau pindah ke luar kota,” tambahnya lagi lalu meneguk kembali tehnya. “Kau
pasti tak tahu kalau cerita di buku itu sangat mirip dengan cerita kalian.
Tentu saja ending-nya berbeda. Pemeran utama perempuannya tidak meninggal.
Lagipula laki-laki yang menjadi tunangan perempuan itu ternyata bukanlah
laki-laki.” Ia menceritakan pokok kisah buku yang masih ada di tanganku.
Aku tersenyum kecut, tak tahu harus berkata apa. Dalam hati merasa sedih,
sekaligus bahagia. Bahagia karena akhirnya dia tahu kalau kekasihnya itu
brengsek. Namun sedih karena sampai saat ini orangtua Sasha tak pernah tahu
kalau orang yang mereka sebut laki-laki pilihan Sasha itu bukan laki-laki. Jika
cerita di buku ini benar seperti itu, maka itulah kenyataannya. Sasha menulis pengalaman
pribadinya, pengalamannya mencintai seorang perempuan.
“Minum, Fahri?”
Aku mengangguk, mendekatinya setelah meletakkan kembali buku itu ke rak.
Sama sekali tak berniat menguak luka, ataupun kenyataan pahit yang dia simpan
sejak lama.
END
Buku Milik Sasha
Reviewed by Aulia Maysarah
on
01.01
Rating:
Cieee yang punya blog :P
BalasHapusNyoba kak... nyoba... :p
BalasHapusCoba-coba kak... :v
BalasHapus