Pada Suatu Senja
*Cerpen ini pernah dimuat di Harian Rakyat Sultra Edisi Akhir Juni (Lupa kapan tepatnya).
Selamat membaca... :)
Selamat membaca... :)
Dari jendela di sudut tempatmu duduk di kafe ini, kau bisa leluasa
melihat laut dan dermaga. Langit di senja itu buram, mengiringi gerimis yang
tak kunjung berhenti. Kaurapatkan jaketmu, sejurus kemudian kembali menyeduh
cokelat panas milikmu yang sebenarnya tak lagi panas.
"Maaf, aku terlambat."
Kau mendongak, mendapati dia yang kautunggu sedari tadi berdiri
dengan napas tak beraturan di depanmu. Tubuhnya agak basah, tentu saja karena
gerimis di luar.
Kau menggeleng cepat, "Duduklah!"
Tanpa diminta dua kali, dia duduk. Namun terlebih dulu melepas
mantel dan menyampirkannya ke sandaran kursi.
"Maaf, Soya tadi rewel banget. Mau tak mau aku harus temani dia
dulu." Dia berucap lagi seraya memesan secangkir kopi pada pelayan yang
kebetulan lewat.
Dia masih seperti dalam ingatanmu, persis. Hanya saja kini dia
mengganti bingkai kacamatanya ke model yang lebih manis, bukan kotak-kotak
lagi. Selain itu tak ada yang berubah, tetap seperti laki-laki yang kausukai
sejak SMA dulu.
"Melamun?"
Kau terkesiap. Buru-buru membuang pandanganmu dari mengawasi
wajahnya ke jendela. Tapi usahamu gagal! Kau malah tertawa.
"Kenapa tertawa?" Dia melotot bertanya. Seolah baru saja
mendapatimu tengah mengejeknya.
"Tidak ...," kau menggeleng cepat tapi masih berusaha
meredakan tawa. "Lucu saja membayangkanmu bersama Soya." Kau
menambahkan setelah berhasil mengatur pernapasan kembali.
Dia mendengus.
"Percayalah! Itu menyenangkan," ujarnya meyakinkan.
"Kau masih suka cokelat panas?" Kembali dia menambahkan seraya
menatap cangkir cokelat di tanganmu yang masih mengepulkan uap.
Kau mengangguk serius. "Cokelat akan selalu jadi
kesukaanku."
Setelah mendengar kata-katamu, dia terdiam. Sesaat kemudian melempar
pandangan ke luar jendela, ke senja di dermaga yang dihiasi gerimis. Tak lama,
kau pun ikut melakukannya.
Kau masih ingat betul, delapan tahun lalu di sebuah senja yang juga
dihiasi gerimis di dermaga ini merupakan hari bersejarah bagimu dan Hans.
Laki-laki di hadapanmu kini.
Tepat di hari jadimu yang ke tujuh belas, dia memintamu menunggunya
di sini. Kau nyaris berpikir dia hanya sedang melakukan lelucon karena kau
menunggunya dari jam pulang sekolah sampai senja dan dia tidak datang. Ketika
kauputuskan untuk pulang dengan hati kecewa, kau mendapatinya tengah berlari
tergopoh-gopoh ke arahmu. Nyaris seperti seseorang yang mengejar kereta.
"Maaf, kau sudah lama ya?" Ucapan pertamanya yang
membuatmu tak tega untuk marah. Bagaimana tidak, saat itu dalam penglihatanmu
dia bukan laki-laki gagah yang selalu rapi. Dia berantakan. Jaketnya basah
karena keringat, napas tak beraturan dan yang terpenting wajahnya pucat pasi.
Kemarahanmu benar-benar menguap.
"Kau tak apa, Hans?"
Kau juga ingat kelakuannya setelah kau bertanya. Dia berlari
meninggalkanmu dan kau mulai berpikir yang aneh-aneh lagi. Tapi tak lama dia
kembali. Entah darimana dia mendapat sebuah sweter yang sampai sekarang masih
kausimpan, menyampirkannya ke bahumu. Setelah itu tanpa aba-aba menarikmu ke
tempat ini. Kafe ini, delapan tahun lalu.
"Melamun lagi?"
Lagi-lagi kau terkesiap, mendapatinya menatapmu dengan tatapan yang
menghangatkan seperti dulu. Dan perasaan itu kembali menggelenyar.
"Tidak, aku cuma teringat sesuatu," ujarmu berusaha bersikap
biasa sembari menatap cangkir berisi cokelat di hadapanmu. Minuman pertama yang
dia berikan padamu senja delapan tahun lalu. Minuman kesukaanmu sampai
sekarang, sejak senja itu.
Andai lima tahun lalu tak kauputuskan untuk pergi. Andai lima tahun
lalu kauambil keputusan sebaliknya, semuanya pasti akan baik-baik saja. Tapi
ini bukan salahnya, ini salahmu. Kau yang ingin pergi, sedang dia berusaha
bertahan.
"Bisa kita mulai sekarang? Aku tak bisa lama soalnya. Kasihan
Ratna kalau harus menjaga Soya sendiri."
Kau tersenyum, mendapati wajahnya menggurat khawatir. Pikirmu
alangkah bahagianya Hans. Punya putri kecil yang manis. Istri cantik dan usaha
yang maju dengan puluhan pegawai. Sedang kau sampai saat ini masih sendiri,
sibuk berkutat dengan duniamu.
"Aku akan menunggumu. Sampai kau kembali!"
Pekikan Hans senja lima tahun lalu terngiang. Lagi-lagi ingatanmu
terlempar ke belakang. Ke hari terakhir kau bertemu dengannya, sebelum hari
ini.
Otakmu mengulang kenangan itu lagi. Kaubalas berteriak padanya,
meminta untuk tidak menunggumu. Setelahnya semua terlihat jelas. Kauterbang ke
Paris, sekolah designer lewat jalur beasiswa yang susah payah kaudapatkan lalu
bekerja di sana. Selama itu puluhan bahkan mungkin ratusan email dari Hans
mampir di surelmu. Namun tak satu pun pernah kaubuka. Kau seolah benar-benar ingin
menghapusnya dari kehidupanmu.
Apa kau menyesal? Sedikit mungkin. Satu-satunya alasanmu menyesal
hanyalah jika saja kau tak pergi waktu itu, kau pasti berada di posisi Ratna
sekarang. Menjadi istri Hans, punya buah hati seperti Soya, juga usaha yang maju.
Hanya itu yang membuatmu menyesal. Iri setelah melihat foto mereka bertiga di
akun sosial Hans tempat kau kembali bertemu dengannya. Selain itu, tak ada. Kau
punya semua yang mungkin diinginkan setiap orang.
"Ini proposalnya." Hans mengulurkan map berwarna kuning ke
hadapanmu, sekaligus menarikmu ke dunia nyata.
"Kau bercanda, Hans?" tanggapmu. Mendengarmu berkata
begitu, dia malah mengerjitkan dahi.
"Tak perlu pakai proposal. Aku percaya padamu. Lagipula, inikan
aku yang mau kerja sama denganmu. Harusnya aku yang memberimu proposal."
Kau menjelaskan. Baru setelah itu dia tersenyum. Mengerti.
"Tidak, tetap aku yang harus mengajukan proposal. Kau tahu?
Suatu kehormatan bagi kami bisa bekerja sama dengan perusahaanmu yang
besar." Ucapan paling panjang di pertemuan senja itu baru saja
diucapkannya.
Kau mengulum senyum. Kembali ingat sifat laki-laki di hadapanmu.Kau
selalu ingat, dia pasti terus mengalah setiap kali kalian bertengkar. Selalu
dia yang terlebih dulu minta maaf walaupun dirimu yang salah. Dan sekarang ...
ternyata masih seperti itu.
Kau, seorang pemilik sebuah perusahaan konvensional besar di kotamu.
Tentu saja di bidang sandang. Berkat keyakinanmu mengambil beasiswa ke Paris,
semua impianmu terwujud. Kau bahkan punya merk tersendiri untuk beberapa
rancanganmu. Dan yang mencarinya, bukan orang biasa. Rancangan pakaianmu
diincar kalangan atas. Entah itu artis, atau pejabat. Tapi dari semuanya yang
paling membanggakan adalah keberhasilanmu menembus pasar internasional. Berkat
rajinnya dirimu mengikuti banyak event fashion.
"Tak perlu. Daripada membaca proposal, aku lebih memilih
melihat langsung ke tempatnya." Kau menyorongkan kembali map itu pada
Hans. "Kau tak berpikir kalau aku jauh-jauh datang kemari hanya untuk
menerima proposal, kan?"
Dia tertawa. Lepas.
"Helen ... Helen, kau ternyata masih sama seperti dulu. Lebih
senang terjun langsung daripada menunggu."
Kali ini kau terdiam mendengar ucapannya. Sama sekali tak menyangka
kalau Hans masih mengingatmu.
"Tapi kau tak takut dengan ulat, kan?"
Kau menggeleng cepat. Ya, Hans seorang pengusaha sutra. Langsung
dari ulat-ulatnya. Menurut sumber yang dapat kau percaya, kain sutra dari
perusahaan Hans adalah yang terbaik. Kau sempat tak yakin apakah dia adalah
Hans yang sama dengan yang kau kenal, karena selain tempat tinggal, tak ada
lagi rujukan yang mengarah padanya. Namun dugaanmu salah.
"Besok, jam sepuluh pagi aku ke tempatmu. Bisa, kan?" Dia
mengangguk cepat.
"Kau tahu alamatnya? Atau mau kujemput?" Dan kau tertawa
mendengar tawarannya.
"Aku tak sebodoh itu, Hans! Taksi kan banyak," ucapmu lalu
bangkit. "Hujan sudah reda. Bisa kita lanjutkan besok saja? Aku baru
teringat sesuatu," tambahmu.
Hans mengangguk setuju.
"Iya, aku juga harus pulang." Ia berucap dan kau bisa
menebak alasannya. "Mau kuantar?"
"Tidak," tolakmu. "Aku mau jalan kaki saja. Ada yang
mau kulakukan sebelum besok ke tempatmu dan kembali ke Jakarta."
Lagi-lagi dia mengangguk, lalu pamit. Sedang kau sekarang, berjalan
menyusuri tepian dermaga yang kembali diguyur gerimis.
"Maaf, aku membuatmu menunggu lama. Selamat ulang tahun
yah," Kau tersenyum. Menutup mata mengingat kembali jejak Hans di hidupmu.
Senja delapan tahun lalu. Kau ingat sekali, sepotong kue tart yang dia suguhkan
di kafe tadi, juga segelas cokelat panasnya. Rasa-rasanya baru terjadi kemarin.
Ponselmu berbunyi. Tanpa melihat siapa yang memanggil, kau
mengangkatnya.
"Nona Bawel, di mana saja kau? Aku sudah di restoran dari jam
empat!"
Suara yang amat kau kenali terdengar merutuk di ujung sana. Kau
kembali tersenyum.
"Aku di jalan. Maaf, urusan kliennya ...,"
"Sudah kuduga." Ia mendengus kesal. "Cepatlah ke
sini, atau kejutannya nggak jadi,"
Kau kembali tersenyum. Sangat cerah. Kaubalas memintanya untuk
menunggumu sebentar lagi. Saat hendak menutup panggilan, dia menghentikanmu.
"Sayang, selamat ulang tahun." Dia berbisik. Dan entah
untuk ke berapa kalinya, kau tersenyum lagi.
"Makasih."
Lucu rasanya, membayangkan orang sepertimu bisa bertahan dengannya.
Kalian sama-sama sibuk. Dan nyaris tak punya waktu bersama dalam seminggu.
End
Pada Suatu Senja
Reviewed by Aulia Maysarah
on
01.46
Rating:
Tidak ada komentar: